Arsitektur Cloud Monolitik vs Microservices, Mana yang Cocok untuk Startup?

Arsitektur Cloud Monolitik vs Microservices untuk Startup

Saat ini, banyak startup bermunculan dengan kebutuhan teknologi yang cepat, scalable, dan fleksibel. Salah satu keputusan penting dalam membangun aplikasi berbasis cloud adalah memilih model arsitektur yang tepat.

Dua pendekatan utama yang umum digunakan adalah arsitektur cloud monolitik dan microservices. Masing-masing memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri, terutama bagi startup yang sedang berkembang dan perlu bergerak lincah.

Memahami karakteristik kedua model ini sangat penting agar Anda tidak salah langkah di awal. Salah memilih arsitektur bisa berujung pada keterbatasan skalabilitas, biaya pengembangan yang membengkak, hingga hambatan dalam merespons kebutuhan pasar.

Maka dari itu, pada artikel ini, kita akan membandingkan arsitektur monolitik dan microservices secara spesifik untuk kebutuhan startup agar Anda dapat menentukan mana yang paling sesuai.

Perbandingan Arsitektur Cloud Monolitik dan Microservices untuk Startup

Setiap pendekatan arsitektur memiliki keunikan dan strategi implementasi yang berbeda. Berikut enam aspek penting yang bisa dijadikan acuan untuk menentukan pilihan terbaik bagi startup:

1. Struktur dan Kompleksitas

Arsitektur monolitik menggabungkan semua komponen aplikasi ke dalam satu kesatuan. Artinya, UI, logika bisnis, dan basis data berada dalam satu struktur kode yang besar dan terintegrasi. Kesatuan ini membuat proses pengembangan awal menjadi lebih sederhana dan cepat.

Sebaliknya, arsitektur microservices memecah aplikasi menjadi layanan-layanan kecil yang berdiri sendiri dan saling terhubung melalui API. Struktur ini memang lebih kompleks di awal, tetapi memberikan fleksibilitas tinggi karena setiap layanan bisa dikembangkan, di-deploy, dan diskalakan secara independen.

2. Kecepatan Pengembangan Awal

Startup sering kali memiliki waktu yang terbatas untuk meluncurkan produk ke pasar. Monolitik unggul dalam hal kecepatan pengembangan awal karena lebih mudah diuji, dideploy, dan dikelola oleh tim kecil.

Namun, seiring pertumbuhan aplikasi, monolitik bisa menjadi sulit untuk dipelihara. Nah, di sinilah microservices mulai menunjukkan keunggulannya, karena tim dapat fokus pada pengembangan bagian-bagian tertentu tanpa mengganggu keseluruhan sistem.

3. Skalabilitas dan Fleksibilitas

Microservices menawarkan fleksibilitas skalabilitas yang jauh lebih tinggi. Setiap layanan bisa diperbesar atau dikurangi sesuai kebutuhan, tanpa harus menyentuh keseluruhan aplikasi. Jenis ini sangat cocok untuk startup yang ingin mengoptimalkan biaya dan performa sesuai pertumbuhan pengguna.

Sebaliknya, dalam arsitektur monolitik, skalabilitas seringkali dilakukan dengan menduplikasi keseluruhan aplikasi. Hal ini bisa menyebabkan pemborosan sumber daya jika hanya sebagian fitur yang memerlukan peningkatan performa.

4. Kemudahan Pemeliharaan

Aplikasi monolitik, meskipun mudah dibangun, akan menjadi sulit dipelihara seiring bertambahnya jumlah fitur dan pengembang. Perubahan kecil bisa berdampak besar karena semua komponen saling bergantung.

Pada arsitektur microservices, setiap layanan dikelola secara terpisah. Hal ini memungkinkan pengembang untuk memperbarui atau memperbaiki satu bagian tanpa mengganggu sistem lainnya. Namun, dibutuhkan kontrol dan dokumentasi yang baik agar sistem tetap stabil.

5. Ketergantungan Tim dan Struktur Organisasi

Untuk startup dengan tim kecil, arsitektur monolitik lebih mudah dikelola karena semua pengembang bekerja di dalam satu basis kode yang sama. Komunikasi dan kolaborasi pun lebih terfokus.

Namun, seiring pertumbuhan tim dan jumlah fitur, microservices memungkinkan tim dibagi berdasarkan fungsi layanan tertentu. Hal ini mendorong kemandirian tim dan percepatan proses pengembangan.

6. Biaya Infrastruktur dan Monitoring

Monolitik cenderung lebih murah di awal karena tidak memerlukan banyak tools untuk integrasi, orkestrasi, dan monitoring. Startup bisa memulai hanya dengan satu server atau layanan cloud standar.

Sebaliknya, microservices memerlukan sistem monitoring, logging, dan manajemen layanan yang lebih kompleks. Biaya awal bisa lebih tinggi, tetapi sebanding dengan efisiensi dan skalabilitas yang didapat dalam jangka panjang.

Arsitektur monolitik dan microservices memiliki keunggulan masing-masing yang bisa disesuaikan dengan kondisi dan tujuan startup. Jika Anda baru memulai dengan tim kecil dan produk sederhana, pendekatan monolitik bisa menjadi pilihan yang cepat dan efisien.

Namun, jika startup Anda berambisi untuk tumbuh pesat dan menghadapi kompleksitas sistem yang tinggi, arsitektur microservices memberikan fleksibilitas dan skalabilitas jangka panjang.

Untuk membangun arsitektur cloud yang tangguh sejak awal, Anda membutuhkan platform yang andal dan mendukung fleksibilitas tinggi. Sangfor Cloud Platform dari Sangfor Technologies adalah solusi cloud lengkap yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan berbagai jenis arsitektur.

Sangfor menawarkan layanan infrastruktur cloud yang aman, hemat biaya, dan mudah dikelola. Cocok untuk startup yang ingin berkembang secara agile tanpa mengorbankan keamanan dan efisiensi. Pelajari lebih lanjut tentang Sangfor Cloud Platform di situs resmi Sangfor Technologies.

Baca juga: Fitur Menarik yang Ada di Google Tapi Belum Banyak Orang Tahu

About the author

admin

Seorang freelance, senang mengikuti perkembangan teknologi seputar gadget terutama smartphone, juga pecinta photography khususnya B&W.